Selamat Datang.... :)

Positive Thinking???? I Like It.. :)

Selasa, 09 November 2010

HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QUR’AN

HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QUR’AN
Oleh: Irhamni


I. Pendahuluan
Hadits merupakan sumber dan dasar hukum Islam yang menempati kedudukan sangat penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban kaum muslim mengikuti hadits sama wajibnya dengan mengikuti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an.
Tanpa memahami dan menguasai hadist, seseorang tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dengan baik. Sebaliknya, seseorang tidak akan dapat memahami hadits tanpa memahami Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya secara garis besar berisi syari’at. Hadits merupakan dasar hukum kedua, yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Oleh karena itu perhatian yang diberikan oleh umat Islam terhadap hadits sejalan besarnya dengan perhatian terhadap Al-Qur’an.
Sejak zaman kenabian, hadits adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka. Oleh karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadits-hadits Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits saja.
Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang memiliki kaitan yang sangat erat dan bahkan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. sementara itu, kedudukan hadits dalam Islam juga tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits. Oleh karena itu, pada pembahasan berikutnya penulis akan menjelaskan fungsi hadits/ sunnah terhadap Al-Qur’an, mana yang membutuhkan apakah Al-Qur’an lebih membutuhkan hadits atau hadits lebih membutuhkan Al-Qur’an, dan jenis-jenis hadits/ sunnah.


II. Pembahasan
Sebagaimana telah diketahui bahwa jumhur ulama menyatakan Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Qur’an. Al-Suyuthi dan Qasimi yang disadurkan oleh Abuddin Nata dalam bukunya “Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I)”, mengemukakan argumentasi rasional dan tekstual. Diantaranya sebagai berikut:
a. Al-Qur’an bersifat qath’i al-wurud, sedangkan al-Sunnah bersifat zhanni al-wurud. Oleh karena itu yang qath’i harus didahulukan daripada yang dzanni.
b. Al-sunnah berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur’an. Dalam artian yang menjelaskan berkedudukan di bawah yang dijelaskan.
c. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan Sunnah setelah A-Qur’an. Diantaranya dialog Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal yang akan diutus ke negeri Yaman sebagai qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mua’az menjawab “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak ada nashnya, dengan hadits Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuannya dalan sunnah, maka dengan berijtihad”.
d. Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang Pencipta Allah SWT, sedang hadits berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya daripada yang berasal dari hamba dan utusannya.

Argumentasi di atas sangat jelas, bahwa yang qath’i harus di dahulukan daripada yang zanni. Begitu juga halnya dengan Al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Allah, kedudukannya lebih tinggi daripada hadits yang berasal dari utusan-Nya Nabi Muhammad s a w. Akan tetapi hadits juga mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai penjabaran Al-Qur’an atau sebagai penjelas yang berkedudukan di bawah yang dijelaskan .
Berikut ini ada beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyatakan bahwa kedudukan al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an dalam ajaran Islam. Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil amri diantara kamu”. (QS. An-Nisa: 59).
Allah berfirman dalam surah yang sama ayat 80, yang artinya:
“Barangsiapa yang mena’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa: 80)
Selanjutnya dalam sabda Rasulullah s a w:
تركت فيكم امرين ما ان تمسكتم بهما لن تضلوابدا كتا ب الله وسنة رسوله.
(رواه ابوداود)
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat, Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya”. (HR. Abu Daud).
Susuai dengan keterangan yang dikemukakan di atas, bahwa jumhur ulama menetapkan sumber hukum Islam itu empat, yaitu al-Qur’an, Hadits atau sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Ketetapan ini berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas.

A. Fungsi Hadits/ Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia untuk dapat dipahami, maka Rasul s a w diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-hadits. Dalam hubungannnya dengan Al-Qur’an, hadits berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi petunjuk bagi ummat dapat terealisasikan dengan baik karena disertai adanya hadits sebagai penjelas.
Oleh karena itu, fungsi hadits Rasul s a w sebagai penjelas (bayan) Al-Qur’an ada bermacam-macam. Sehingga ulama berbeda padangan dalam melihat fungsi hadits. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’, dan bayan al-naskh. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayan al-naskh. Dalam “Al-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’ dan at-takhshish.
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, dalam bukunya, “Ulumul Hadits” menyebutkan tiga fungsi hadits, yaitu bayan al-tafsir, bayan al-taqrir, dan bayan al-naskh. Ulama ahl al-Ra’y (Abu Hanfah) menyebutkan tiga fungsi hadits, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, dan bayan tabdil (nasakh). Abuddin Nata dalam bukunya “Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I)” menyebutkan empat fungsi hadits, yaitu bayan tafshil, bayan takhsish, bayan ta’yin, dan bayan nasakh.
Adapun fungsi-hadits tersebut di atas dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, secara umum adalah sebagai berikut:
1. Bayan Tafshil
Bayan tafshil yaitu al-Sunnah menjelaskan atau memperinci kemujmalan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun diperlukan perincian. Maka untuk itu diperlukan al-Sunnah.
Dalam Al-Qur’an ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji, berjuang di jalan Allah, qishahs, dan lain sebagainya. Namun, teknik pelaksanaannya tersebut tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, akan tetapi teknik terseut fijelaskan dalam al-Sunnah.
Salah contoh firman Allah tentang perintah shalat adalah:
“Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (QS. Al-Baqarah: 43).
Ulama ahli ushul menetapkan bahwa dengan perintah dalam ayat tersebut di atas, shalat hukumnya wajib. Sedangkan mengenai bilangan rakaat dan cara mengerjakannya dijelaskan di dalam hadits:
صلوا كما رأيتموني أصلي . (رواه البخا ر ى)
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat”. (HR. Bukhari).
Al-Qur’an menjelaskan bahwa shalat itu wajib bagi setiap orang mukallaf. Namun, kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksanakan. Rasulullah dalam hal ini menjelaskan syarat, rukun dan praktek pelaksanaannya bagi setiap orang sesuai dengan keadaannya. Cara shalat orang yang muqim, tidak berpergian, dan tidak dalam keadaan sedang perang berbeda dengan orang yang sedang berpergian atau perang. Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak memungkinkan melaksanakan shalat dengan cara berdiri, boleh sambil duduk atau berbaring. Semua penjelasan masalah ini terdapat dalam hadits Rasulullah s a w.

2. Bayan Takhsish
Bayan takhsish adalah mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang bersifat umum. Dalam keadaan ayat tersebut, datang hadits memberikan penjelasan tentang kekhususannya, yaitu di samping keumuman ayat itu ada yang dikhususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi menjelaskan, mentafshilkan dan menta’yinkan (menyatakan) al-Qur’an, dan kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bayan takhsish ini di samping al-Sunnah sebagai bayan, juga antara Al-Qur’an dan al-Sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.
Takhsis dapat dilakukan antara ayat dengan ayat yang lain. Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya dengan alasan bahwa nash-nash Al-Qur’an semuanya adalah qath’i al-wurudl (pasti turunnya atau datangnya dari Allah). Sedangkan hadits terhadap ayat, selain hadits mutawatir, diperselisihkan ulama.
Jumhur berpendapat, hadits ahad pun dapat mentakhsish ayat Al-Qur’an sebagaimana halnya hadits mutawatir. Golongan Hanafiah mengatakan, kalau hadits mutawatir dan hadits masyhur berbarengan keumumannya dengan Al-Qur’an, dan kalau tidak berbarengan , maka al-Sunnah itu justru menasakh kitab.
Contoh sunnah yang mentakhsis Al-Qur’an:
1) Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan berpoligami. Tetapi dalam hadits dikatakan:
لآ يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة و خا لتها. (متفق عليه)
Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak) nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu) nya. (Mutafaq ‘alaih)
Dalam hadits Nabi yang lain berbunyi:
ان الله حرم من الرضا عة ما حرم من النسب.
Sesungguhnya Allah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab. (HR. Bukhari-Muslim).
2) Dalam Al-Qur’an terdapat pernyataan bahwa anak-anak dapat mempusakai orang tuanya dan keluarganya, yang dilukiskan ke dalam ayat secara umum:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: yaitu bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, ....”. (QS. An-Nisa’: 11).
Hukum yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat umum, artinya bahwa setiap anak berhak mendapat harta pusaka (ahli waris) dan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Ayat ini dikhususkan oleh al-Sunnah yang berbunyi:
لآ يرث المسلم الكا فرولا الكا فر المسلم . (رواه الجماعة)
“Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan sikafir un tidak boleh mewarisi harta si muslim”. (HR. Jama’ah).
لا يرث القا تل من المقتول شيئا . (رواه أحمد)
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”. (HR. Ahmad).
3. Bayan Ta’yin
Bayan ta’yin ialah al-Sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat atau lafal yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna (lafal al-Musytarak), sehingga para ahli tafsir memberikan berbagai pengertian. Seandainya lafal-lafal tersebut tidak dijelaskan oleh keterangan-keterangan lain, maka kemungkinan pemahaman terhadap ayat itu akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki, sehingga akan sulit dilaksanakan.
Sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa perempuan-perempuan yang dicerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ tersebut dalam surah Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menahan) tiga kali quru’, ....”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Menurut asal lughah, makna harfiahnya, quru’ itu adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt al-mu’tad) sedangkan dalam keterangan yang lain dikatakan bahwa waktu yang dibiasakan itu bukan berarti lain, kecuali haid.
Untuk mengetahui dan menguatkan pendapat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Iddah itu diketahui dengan berpisahnya rahim dari kehamilan. Yang demikian itu tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya haid.
b. Kebiasaan Al-Qur’an tidak pernah mengatakan atau menyebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang dianggap tidak sopan, walaupun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid.
c. Hadits menyebutkan tentang adanya iddah perempuan yang ditalak itu dengan tiga kali haid.

Seperti sabda Rasulullah yang berbunyi:
ظلاق الأ مة اثنتان وعد تها حيضتان . (رواه ابن ماجه)
“Talak budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid”. (HR. Ibnu Majah).
Dengan demikian jelaslah bahwa walaupun lafal quru’ dalam Al-Qur’an adalah lafal yang mempunyai lebih dari satu pengertian, tapi yang dimaksudkan adalah haid, bukan yang lain dari itu.
Contoh lain dari bayan ta’yin ini adalah mengenai taqyid pada ayat Al-Qur’an yang muthlaq. Misalnya dalam surah Al-Maidah ayat 3 yang bunyinya:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, ....”. (QS. Al-Maaidah: 3).
Ayat di atas secara muthlaq mengharamkan semua jenis bangkai dan darah. Namun datang hadits mentaqyid kemuthlakan itu dengan menunjukkan adanya bangkai dan darah yang boleh dimakan. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
أحلت لنا ميتتان ودمان، فأما الميتتان الحوت والجراد. واما الد مان فالكبد والطحال. (رواه ابن ماجه والحاكم).
“Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dengan adanya penjelasan tersebut, maka terbukalah beberapa pengecualian dan kemudahan dalam pelaksanaan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut bidang hukum.
4. Bayan Nasakh
Fungsi al-Sunnah juga menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang secara lahiriah bertentangan. Bayan nasakh ini juga sering disebut sebagai bayan tabdil (mengganti suatu hukum atau menghapuskannya).
Secara bahasa, nasakh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-taqyir (mengubah). Para ulama, baik mutaqaddimin atau muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata nasakh dari segi kebahasaan. Ulama mutaqaddimin beranggapan bahwa terjadinya nasakh karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum meskipun sudah jelas, karena sudah berakhir masa berlakunya serta tidak dapat diamalkan lagi, dan syar’i menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan selama-lamanya. Intinya, ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan yang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih cocok dengan nuansanya. Dalam hal ini hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian dari Al-Qur’an dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur’an.
Kelompok yang membolehkan adanya nasakh seperti ini adalah Mu’tazilah, Hanafiah, dan Mazhab Ibn Hazm al-Zahiry. Hanya saja Mu’tazilah membatasi ketentuan ini pada hadits-hadits mutawatir bahkan hadits masyhur pun dapat men-nasakhkan Al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Hazm memandang boleh meskipun dengan hadits ahad, karena ia memandang nasakh Al-Qur’an oleh hadits termasuk dari bayan Al-Qur’an.
Salah satu contoh hadits yang sering diajukan oleh ulama adalah:
لاو صية لوارث.
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits di atas oleh para ulama menasakh isi firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 180, yang artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 180).
Adapun yang menolak nasakh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun nasakh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Zhahiriyah dan kelompok khawarij.
Ketentuan hidup manusia secara garis besar ditetapkan dalam al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 3, yang artinya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah: 3).
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan tentang kesempurnaan agama, yang menunjukkan bahwa secara garis besar segala masalah keagamaan sudah diungkapkan di dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian dalam prakteknya, Rasulullah s a w pernah menetapkan hukum yang belum ada ketetapannya secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Penetapan hukum yang tidak disinggung oleh al-Qur’an tersebut tidak terlarang, juga tidak berarti bahwa al-Sunnah sederajat atau sejajar dengan al-Qur’an.
Contoh-contoh hukum yang ditetapkan oleh al-Sunnah antara lain adalah ketentuan tentang haramnya memakan daging himar ahliah, memakan daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Masalah ini dijelaskan oleh sunnah sedangkan Al-Qur’an tidak membicarakannya.

B. Al-Qur’an Lebih Membutuhkan Hadits
Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadits yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an”.
Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan seluk beluk kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah s a w sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.
Meskipun demikian, penulis menilai bahwa antara Al-Qur’an dan hadits saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Adakalanya Al-Qur’an lebih membutuhkan hadits ataupun sebaliknya, tergantung pada permasalahannya.

C. Jenis-Jenis Hadits/ Sunnah
Sebagaimana dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa hadits mencakup segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi s a w. Oleh karena itu, dalam pembahasan di bawah ini akan dibahas tentang bentuk atau jenis Hadits Qauli, Fi’li, Taqriri, Hammi, dan Ahwalia.
1. Hadits Qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi s a w. Dengan kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa perkataan Nabi s a w yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.
Salah satu contoh hadits qauli yaitu hadits tentang bacaan Al-Fatihah dalam shalat, yang berbunyi:
لا صلا ة لمن لم يقرأ بفا تحة الكتا ب . (رواه مسلم)
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al-Kitab”. (HR. Muslim).
2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li ialah segala yang disandarkan kepada Nabi s a w berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Seperti hadits tentang shalat dan haji. Contoh hadits fi’li tentang shalat adalah sebagai berikut:
صلوا كما رأيتموني أصلي . (رواه البخا ر ى)
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat”. (HR. Bukhari).
كان النبي صل الله عليه وصلم يوصلي على زا حلته حيث ما توجهت به.
(رواه التر مذى)
“Nabi s a w shalat di atas tunggangannya, kemana saja tunggangannya itu menghadap”. (HR. AL-Tirmidzi).
3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah hadits yang berupa ketetapan Nabi s a w terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi s a w membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.
Diantara contoh hadits taqriri adalah sikap Rasul s a w yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu:
لا يصلين أحد العصر ءالافي بني قريضة. (رواه البخارى).
“Janganlah seorangpun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah”. (HR. Bukhari).
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi s a w tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
4. Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi s a w yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Sebagai contoh adalah hadits dari Ibnu Abbas, sebagai berikut:
عن عبدالله بن عبباس يقولو حين صام النبي صلى الله عليه وسلم يوم عا شوراء وأمرنا بصيا مه قالو: يا رسول الله انه يوم تعظمه اليهود والنصارى. ف قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فأذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع.
(رواه أبوداود).
Dari Abdullah Ibn Abbas, ia berkata,”Ketika Nabi s a w berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani’. Rasul s a w kemudian bersabda, ‘Tuhan yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang ke sembilan’”. (HR. Abu Daud).
Rasulullah belum sempat merealisasikan hasratnya itu karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’i dan para pengikutnya, menjalankan hadits hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah lainnya.
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ikhwal Nabi s a w yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Hadits yang termasuk kategori ini adalah hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik Nabi s a w.
Berikut ini salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, tentang sifat Rasulullah s a w:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا. (متفق عليه).
Rasulullah s a w adalah orang yang paling mulia akhlaknya. (Mutafaq ‘alaih).
Tentang keadaan fisik Rasulullah dijelaskan dalam hadits di bawah ini:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا ليس بالطويل الباءن ولا بالقصير. (رواه البخارى).
Rasulullah s a w adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (HR. Bukhari).

III. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang memiliki kaitan yang sangat erat dan bahkan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut disebabkan karena fungsi hadits sebagai al-bayan (penjelas) dan penafsir dalil-dalil Al-Qur’an yang dapat mengungkapkan tujuan Al-Qur’an. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya dari segi informasi terhadap redaksi maupun sanadnya. Karena berbicara Al-Qur’an tentu rujukannya hanya satu, tetapi hadits terdapat berbagai kitab yang terkadang dengan sanad yang berbeda dan redaksi yang beragam.
Selain itu, sebagian ulama juga mengatakan bahwa Al-Qur’an lebih membutuhkan hadits, karena mereka juga merujuk kepada fungsi hadits tersebut, sehingga jika ada perselisihan dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, langsung dapat merujuk kepada hadits.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT sepantasnya penulis kembalikan segala sesuatu. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal ‘alamin.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), Ed. Revisi, Cet. 7, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Endang Soetari, Ilmu Hadits, Kajian Riwayah dan Dirayah, Cet. 4, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.

http://sabilulilmi.wordpress.com/2010/03/27/sejarah-singkat-kodifikasi-hadis

http://www.pusatkajianhadis.com.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Ed. Revisi, Cet. 3, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, Bandung: Ciptapustaka Media, 2005.